Mengobati Rindu
-Untukmu Jogja-
Melepas kepergianmu. Pagi itu. Tak aku rasakan riuh celotehmu, tak juga mendengar deru bis yang melaju, terlebih hangat kebersamaan dalam canda. Hanya menanti datangmu melewati halamanku, biar ku nikmati jejakmu hingga ia tertelan jarak. Bagiku cukup. Telah ku tangkupkan kedua telapak tanganku, kupanjatkan do’a penuh harap. Semoga... kan kau dapati rihlah penuh indah, tiada satupun duka yang menyela.
Pagi ini, aku bayangkan. Betapa tidak nyenyaknya tidurmu semalam, betapa gugupnya pagi ini, betapa tak sabarnya menikmati aroma Jogjakarta. Hari yang kau nantikan, bahkan jauh sebelum memasuki bulan ke lima ini. Mungkin seringkali jemari menjamah angka empat di kalender bulan ini, Mei. Betapa hari ini adalah jawaban atas penantian yang cukup memakan waktu. Bahkan mungkin dari kelas satu. Melihat kakak kelas rihlah, bersama-sama ke suatu tempat nan jauh dalam satu bis, barangkali sudah cukup mengawali rindu. Membayangkan berapa tahun lagi akan menjadi seperti mereka. Ya, hari ini adalah yang kau nantikan. Bukan?
Sayangnya, aku tak benar-benar bersamamu. Meski bayanganku mengikuti, apalah daya, ragaku berada di sini. Di sekolah. Membersamaimu dalam do’a. Narendraku (baca: anak), cukuplah ia yang menjadikan kuat alasan,mengapa aku memilih di sini. Lelaki kecil berumur 15 bulan, tentu tak kuasa aku meninggalkannya sampai larut. Membayangkan ia menyebut ibu, meminta dinina bobokan, berulangkali bangun tanpa hangat peluk ibu di sisinya. Tentulah hati ini iba membayangkanya. Ya, ku relakan hangatnya perjalanan bersamamu. 17 jam, merangkai kisah, menjadi pemanis cerita kala duduk di sekolah dasar.
Ku titipkan rindu yang telah lama ku pendam. Padamu Jogja, meskipun bukan tanah kelahiranku, aku punya banyak alasan mengapa rinduku selalu menggebu kala mendengarnya. Ialah menjadi salah satu alasan mengapa aku dipertemukan denganmu, di sekolah ini. Pendidikan yang aku enyam selama empat tahun di sana, berikut berjuta kisah yang terangkai. Selama setengah windu, aku habiskan penggalan hidupku di sana. Telah banyak cerita yang tertulis, telah terangkai dengan indah kisah demi kisah yang ku alami, bahkan menjadikan cinta yang sungguh, layaknya tempat tinggalku di gunung (baca: lereng Mahameru). Dan, empat tahun sudah tak pernah aku merasakan aroma Jogjakarta. Maka, sampaikan salam kerinduanku untuk Jogja.
Sesekali, ku dapati beberapa detik atau menitmu di Jogja, lewat deringan handphoneku. Hanya sesekali saja, berbalas pesan dengan partnerku di kelas. Aku tahu, kau tengah menikmati hari ini. Sama sekali tak ingin aku mengganggu. Hari ini adalah milikmu. Ku tunggu saja cerita bahagiamu yang menggebu, kala kita kembali bersua. Penuh harap aku nantikan. Semoga benar indah perjalananmu.
Nyatanya, rindu itu masih membuncah. Meski telah ku tuliskan, meski segera akan aku dapati ceritamu tentang Jogja.
Ah...., setidaknya, kini aku tegah mengenangnya.
Rihlah kelas IV dan V
Rabu, 04 Mei 2016
Share This Post To :
Kembali ke Atas
Artikel Lainnya :
- Hari yang cerah ...
- Harapan yang tertunda..
- REVIEW PROFIL SEKOLAH
- Rasa yang Tertinggal
- Mengapa mesti Ipin dan Upin?
Kembali ke Atas