• header
  • header
  • PPDB 2025/2026

PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU TAHUN PELAJARAN 2025/2026 DIBUKA TANGGAL 02 DESEMBER 2024

Pencarian

Login Member

Username:
Password :

Kontak Kami


SEKOLAH DASAR ISLAM DARUL FALAH GUMELAR LOR

NPSN : 20341625

Jl.Raya Tambak Barat, Gumelar Lor, Tambak 53196 Banyumas Telp.(0282) 497931


[email protected]

TLP : 0282-497931


          

Banner

Jajak Pendapat

Apakah informasi dari web ini bermanfaat?
Ya
Tidak
  Lihat

Statistik


Total Hits : 368608
Pengunjung : 146204
Hari ini : 69
Hits hari ini : 151
Member Online : 0
IP : 18.97.9.170
Proxy : -
Browser : Opera Mini

Status Member

Mengapa mesti Ipin dan Upin?




Berulang kali saya mencoba mencari jawab atas pertanyaan ini. Saya merasa miris, setiap kali menanyakan kepada anak-anak “Kartun anak-anak apa yang kalian sukai?”. Maka kompak sekali jawabannya, semuanya mengatakan “Ipin Upiiiiin”. Dengan suara yang sangat lantang tanpa keraguan sedikitpun. Bukan hanya di kelas, anak-anak di lingkungan sekitar rumah semuanya sangat menyukai kartun yang dibintangi dua bocah kembar itu. Bahkan bukan hanya anak-anak, usia remaja, bapak-bapak dan ibu-ibu, bahkan yang rambutnya telah memutihpun tak ketinggalan saat serial itu di putar di layar kaca. Pada jam ditayangkannya kartun tersebut, banyak televisi yang berada di channel itu, seolah sudah sangat menantikan. Sudah hafal betul kapan jam tayang dan di channel apa ditayangkan. Meskipun terus diulang dengan tema dan adegan yang sama, mereka sepertinya tidak pernah jemu. Di bagian yang menurut mereka lucu, mereka selalu tertawa terpingkal menikmati kepolosan tokohnya. Padahal, mereka sudah sangat hafal alur dan apa yang akan terjadi berikutnya di adegan itu.

Sebenarnya apa yang membuat serial kartun dari negeri tetangga itu sangat digemari di negeri kita? Sedangkan kartun buatan anak negeri juga bukan hanya satu yang ditampilkan di layar, pun sama-sama diulang tayangannya. Misalnya kartun anak-anak Adit, Sopo dan Jarwo, ada juga Keluarga Pak Somad, Kiko, Si Entong, Garuda di Dadaku, Bola Kampung, juga masih banyak kartun-kartun yang lain. Saat saya mencoba mengorek pengetahuan mereka tentang kartun yang ditayangkan di televisi, mereka harus berfikir keras menjawabnya. Tidak banyak yang mereka tahu kartun-kartun Indonesia. Hal ini salah satunya karena mereka kurang tertarik dengan kartun Indonesia. Menurut anak-anak, kartun negeri tetangga itu asyik, lucu, tidak membosankan, seru. Nah itu artinya, kartun-kartun kita ada di level kurang atau bahkan sebaliknya.

Menurut saya, serial kartun Ipin Upin memang menarik, bahasanya khas anak kecil, kisah-kisahnya diambil dari keseharian yang sangat dekat dengan dunia anak-anak, pun banyak kisah-kisah teladan yang disisipkan. Tentang bagaimana berperilaku di dalam keluarga, di kelas, dengan teman-teman saat bermain bahkan dengan tetangga sekitar. Terlebih pembiasaan seorang muslim, puasa, sholat, zakat, mengaji, salam, juga saat hari besar Islam, Idul Fitri misalnya. Apalagi di kartun Pada Jaman Dahulu, dongeng-dongeng dari dunia binatang dikemas sangat menarik dan penuh dengan hikmah. Menjadi nasehat yang sangat mudah dicerna oleh anak, ketimbang hanya cerita yang disampaikan monoton tanpa gambar.

Kartun yang ditampilkan di televisi seyogyanya penuh dengan pendidikan, khususnya untuk anak-anak. Bukan malah sebaliknya, banyak hal yang tidak patut dicontoh. Utamanya pada segi bahasa, pakaian, cara bergaul yang baik, tingkah lakunya. Karena bagaimanapun penikmat atau sasaran utama dari kartun adalah anak-anak. Anak-anak adalah peniru ulung, mereka seringkali menirukan hal yang mereka lihat atau dengar tanpa tahu arti atau maksudnya.

Salah satu contoh dampak yang sangat terlihat dari menonton Ipin Upin adalah anak-anak mencontoh dan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dalam bermain dengan teman-temannya. Tidak bisa dipungkiri, bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dalam kartun itu, sangat melekat di otak anak-anak meskipun ada translitasi dalam bahasa Indonesianya. Seringkali saya menemui di sekolah, terutama anak-anak kelas 1 atau 2 menggunakan bahasa Melayu khas Ipin Upin, lidah mereka tampak mudah sekali mengucapkan setiap kata dengan nada yang begitu mirip. Memang, bahasa Melayu juga dipakai oleh beberapa daerah di Indonesia, misalnya di di Sumatera. Namun, bahasa Melayu bukan bahasa kebangsaan di Indonesia, hanya merupakan bahasa daerah. Telinga saya merasa risih jika mendengar anak Indonesia berbahasa Melayu, padahal mereka orang Jawa tulen.

Selain Ipin Upin, beberapa kartun dari negeri tetangga yang menjadi kesayangan mereka adalah Pada Jaman Dahulu, Shofiya, Masha and The Bear, dan Boboboy. Mereka sangat mengenal bahkan hafal para pemainnya dan dari mana asal kartun-kartun tersebut. Terlepas dari bahasa yang digunakan, anak-anak sangat menyukai setiap serial adegannya. Sangat cocok dengan dunia imajinasi mereka.

Nah, bagaimana dengan kartun di Indonesia? Masa anak Indonesia sukanya kartun negeri tetangga? Tidak ada yang salah sih, bukan serial kartunnya yang bermasalah. Tentunya hal ini menjadi PR besar khususnya bagi para pemuda negeri ini, untuk membuat dan menayangkan kartun-kartun sebagai media pendidikan moral bangsa dengan kualitas yang lebih baik. Pesan yang sesuai dengan budaya timur, memberikan teladan yang memberikan dampak positif bagi perkembangan anak.

Dunia pendidikan menjadi media yang sangat penting dalam hal ini. Bagaimana seorang guru juga turut serta membangun moral. Pun dengan pendidikan dalam keluarga, kedua orang tua haruslah menjadi pengawas dan penuntun bagi anak-anak dalam memilah program televisi yang sekiranya patut dan bermanfaat untuk ditonton anak-anak. Seharusnya memang orang tua selalu mendampingi anak-anaknya, sehingga di akhir, orang tua dapat menyimpulkan hikmah kepada anaknya sekaligus menyampaikan hal-hal yang pantas dan tidak pantas dicontoh.

Semoga di kemudian hari, generasi kita utamanya dari SD Islam Darul Falah akan ada yang menjadi seorang yang mampu membuat tayangan televisi yang lebih menarik dan mendidik. Bukan hanya sebagai tontonan, tetapi sebagai tuntunan. Sehingga semua anak negeri, merasa bangga dengan bahasa sendiri. Rumput kita akan jauh lebih hijau dibanding rumput tetangga.

Rabu, 27 April 2016




Share This Post To :

Kembali ke Atas

Artikel Lainnya :





   Kembali ke Atas